22 April 2012

Live in Tengger

Departemen Oikumene dan Kemasyarakatan Klasis Madiun mengadakan acara "Live in Tengger" pada 30 dan 31 Maret 2012. 37 peserta tinggal di rumah penduduk di desa Ngadirejo, 5 Km dari Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo. Kami tidur seadanya di ruang tamu, kamar atau seadanya tempat di rumah yang bersedia ditempati. Di sana kami belajar tentang agama, adat istiadat dan budaya masyarakat Tengger.

Tengger memang berasal dari nama Roro Anteng dan Joko Seger, pelarian dari Kerajaan Majapahit, meski kebudayaan di sana sudah ada jauh sebelumnya. Ada prasasti yang ditemukan yang merupakan peninggalan masa kerajaan Singosari. Hingga kini mereka masih berkomunikasi dengan bahasa yang mereka yakini sebagai bahasa Jawa Kuno. Bahasa yang kedengaran asing walau saya fasih berbahasa Jawa. Mereka menggunakan banyak bunyi A bukan O seperti lazimnya bahasa Jawa.

Malam itu kami belajar dari Bapak Dukun Pandhita, juga Bapak Bambang selaku Ketua Parisadha, dan Bapak Atmo selaku Guru Agama, dipandu oleh Pdt. Simon Filantropa. Mereka menerima dan menyambut kami dengan sangat baik. Bapak Dukun Pandhita selaku orang yang paling disegani di komunitas itu mengawali pembicaraannya dengan menyampaikan rasa terima kasihnya atas bantuan yang pernah diterima oleh masyarakat Tengger pada musibah yang lalu. Ini menunjukkan hubungan yang indah yang sudah terbentuk antara mereka dan GKI Sinode Wilayah Jawa Timur.

Awal 2011 mereka mengalami musibah hujan abu/pasir yang meluluhlantakkan desa dan kehidupan mereka. Sisa-sisatimbunan pasir masih ada dimana-mana. Tebalnya ada yang 50 cm sampai satu meter. Banyak rumah roboh karena atapnya tidak mampu menahan beban abu/pasir setebal itu, termasuk gedung SD desa itu. Secara ekonomi mereka jadi terpuruk, karena seluruh tanah kebun mereka tertutup pasir yang mengandung belerang yang tidak memungkinkan mereka bercocok tanam lagi. Memang hujan bisa mengikis pasir itu dan perlahan-lahan kini mereka mulai bisa bertanam lagi. GKI SW JATIM pernah membantu mereka dengan bersama-sama menanam bibit bawang dan kubis.

Secara budaya mereka pernah mengalami tekanan. Sebelum tahun 1978 masyarakat Tengger dipaksa untuk menjalankan ritual agama Budha oleh pemerintah, meskipun mereka tidak mengakui Sidharta Gautama. Sejak tahun 1978 baru mereka diakui sebagai bagian dari agama Hindu. Mereka berbeda dengan Hindu Bali dalam penggunaan bahasanya. Hindu Bali menggunakan bahasa Sansekerta sedangkan mereka menggunakan bahasa Jawa. Bila di Hindu Bali ada Karma, maka mereka menyebutnya Kualat. Hindu Bali mengenal Kasta, sedangkan mereka tidak. Mereka juga menggunakan "pasaran" (hitungan hari) Jawa. Mereka beribadah di pura pada setiap Kliwon. Budaya Jawa terasa sangat kuat terjalin dengan agama Hindu mereka. Perhitungan-perhitungan hari baik untuk melakukan suatu kegiatan menjadi bagian hidup mereka. Mereka menghitung hari yang tepat untuk menanam. Bila yang ditanam adalah tanaman kubis maka perhitungan harus jatuh pada buah. Bila yang ditanam adalah kentang maka perhitungan harus jatuh pada "oyot" (akar).

Seorang Dukun Pandhita adalah pemimpin spiritual yang tertinggi. Ia harus seorang laki-laki dan merupakan keturunan Dukun Pandhita sebelumnya dan harus lulus ujian membaca mantra di "Ponten" di gunung Bromo. Untuk beradaptasi dengan kemajuan jaman, maka sekarang ada syarat tambahan yaitu minimal harus lulus SMP.

Semua peserta dapat dengan bebas bertanya apa saja. Ada yang menanyakan perihal jendela kaca menghadap ke jalan yang ada di kamar mandi yang digunakannya. Dia kaget dengan jendela yang memungkinkan orang yang lewat melihat orang yang sedang mandi. Pak Atmo menjawab, itu bukan bagian dari budaya, tetapi itu dampak dari bencana. Dulu sebelum bencana, jendela itu cukup tinggi letaknya dari jalan sehingga tidak memungkinkan orang lewat melihat ke dalam. Pasir Bromo telah menimbun jalan itu setinggi satu meter , sehingga jendela itu kini tidak terlalu tinggi lagi.

Pada hari kedua kami bermain bersama 69 siswa SD di desa itu. Pak Raden Satriadi memimpin acara itu. Mereka kini harus belajar di tenda. Gedung kelas mereka telah roboh. Kita melihat mereka dengan rasa prihatin,namun mereka tampak tetap bersemangat. Tahun lalu saat mereka baru dilanda bencana, salah seorang murid berhasil mencapai nilai UNAS matematika yang tertinggi. Saat itupun, dua siswa tidak dapat bermain bersama kami karena harus mengikuti seleksi Olimpiade IPA di kota. Semuanya ini pasti karena pengabdian para guru.
Tak heran pada saat permainan yang mengharuskan mereka menyebutkan cita-citanya, sebagian besar dari mereka menyatakan bercita-cita menjadi guru. Bapak dan Ibu Guru mereka pasti telah menjadi sosok yang ingin mereka teladani.

Pak Raden membuat suasana permainan itu menjadi meriah dan mendidik. Kamipun kagum dengan semangat dan kenyataan yang harusnya tidak sebanding dengan kendala dan keterbatasan yang mereka alami. Di permainan terakhir Pak Raden membagikan beberapa lembar kertas kepada masing-masing kelompok. Mereka diminta untuk membuat bangunan apa saja dengan kertas itu. Sebuah kelompok membuat bagunan rumah di pinggir mejanya. Ada jendela dan pintu di rumah itu. Saat ditanya kenapa di dinding yang ada tepat di pinggir meja itu tidak ada jendelanya? Seorang anak menjawab ,"Tidak perlu,Pak. Sebab di situ khan jurang…" Mereka sanggup berimajinasi dan semoga bisa terus menghidupkan dan mewujudkan keindahan imajinasinya itu.

Saat permainan usai, kami membagikan bingkisan buat mereka. Kami kemudian memohon pamit. Bapak Kepala Sekolah memohon kami menunggu sebentar. Ternyata mereka telah mempersiapkan tarian untuk menghantar kami. Mereka menari "Jaran Kibar" dengan diiringi musik gendang yang dimainkan oleh siswa SD itu. Sungguh suatu tampilan yang indah dan mengharukan. Keterbatasan tidak membuat mereka menjadi penerima saja, tetapi mereka mampu memberikan apa yang mereka sanggup berikan dan persembahkan. Kearifan yang menjadi kekayaan nurani mereka.

Acara ini memberi banyak pencerahan tentang realitas keberagaman di masyarakat kita. Panggilan untuk menjadi berkat bagi sesama menuntut untuk mau mengenal semua sesama itu dengan lebih baik.

Sampai jumpa di acara Live-In berikutnya.
(kelanjutannya.....)