Hari itu saya agak takut juga melihat ada tanda panggilan
tak terjawab dari Jakarta. Pasti itu menanyakan soal pompa vakum yang sudah dua
bulan lebih di rumah saya dan belum juga saya perbaiki. Perusahan ini memang
sudah lebih dari lima belas tahun mengenal saya. Mereka selalu mengirimkan
pompa yang rusak ke tempat saya untuk diperbaiki. Alat ini memang tidak besar, hanya sebesar
dua kotak sepatu. Tidak banyak orang yang mengerti prinsip dasar pompa itu.
Kelihatannya semua orang mampu membongkar pasangnya, tapi hasilnya selalu
beresiko bertambah parah kinerjanya. Dulu saya pernah diikutkan pelatihan oleh
perusahaan tempat saya bekerja untuk masalah pompa ini, hingga saya memahaminya.
Saat ini saya sudah tidak bekerja di perusahaan itu lagi, saya tidak punya alat
ukur untuk mengukur kinerja pompa itu. Alat ukur itu sangat mahal harganya. Saya
hanya mendasarkan pada perasaan saya saja. Pompa yang ada di rumah saya itu
seharusnya dulu sudah pernah saya perbaiki. Pompa ini dikirim balik karena kinerjanya
masih tidak sempurna. Ini pasti karena saya tidak memakai alat ukur itu untuk
pengujian akhirnya. Saya memang cukup sibuk akhir-akhir ini, disamping sebenarnya
saya juga enggan, apalagi yang harus saya lakukan dengan pompa ini?
Keesokan harinya, saya menerima telpon dari seorang yang
juga sudah lama saya kenal. Orang ini dari perusahaan di Surabaya yang
pemiliknya sama dengan perusahaan yang di Jakarta itu. Saya sudah berpraduga
bahwa ini pasti akan menanyakan soal pompa vakum juga. Benar sekali, dia
langsung menanyakan soal pompa vakum yang katanya sudah lama ada ditempat saya.
Saya langsung minta maaf karena sudah merasa bersalah. Saya mengutarakan
kesulitan saya yang tidak punya alat ukur itu, sehingga mungkin hasilnya tidak bisa
saya uji dengan akurat. Beliau mengundang saya untuk datang ke pabriknya untuk
melihat kondisi pemakaian pompa itu di mesinnya. Bertahun-tahun saya melayani
perusahaan ini, tidak pernah mereka mengundang saya datang ke tempatnya. Mereka
selalu mengirim dan mengambil pompa itu. Saya tahu bahwa proses produksi mereka
sangat dirahasiakan. Ini kesempatan langka. Saya berjanji untuk datang keesokan
harinya.
Tidak berselang lama, saya mendapat telpon lagi dari
perusahaan yang Jakarta. Saya mengatakan bahwa besok saya akan melihat mesin
produksi yang di Surabaya dan sudah berjanji untuk segera menyelesaikan
perbaikannya.
Saya datang ke pabrik itu. Mesin mereka memang
bagus-bagus. Saya diperkenalkan pada operator mesin itu. Orang itu tidak nampak
ramah, bisa jadi karena dia sibuk dan kehadiran saya bisa jadi malah menjadi
beban tambahan buatnya. Saya bisa maklum akan hal ini. Saya diberi lagi empat
buah pompa vakum yang rusak dan beberapa part untuk saya buatkan sesuai contoh.
Kepala pabrik itu menuliskan surat jalan sebagai tanda bukti penerimaan saya
akan semua peralatan itu. Beliau menuliskan lima pompa vakum, sambil mengatakan
bahwa satu buah sudah ada ditempat saya. Saya setuju, yang satu buah di tempat
saya dulu itu, memang saya terima dari ekpedisi dan tidak ada tanda terima dari
saya untuk mereka. Beliau mendesak saya untuk segera memperbaikinya karena sudah
sangat membutuhkannya. Saya menyanggupinya.
Saya segera menyelesaikan lima pompa itu, karena minggu
depannya saya juga harus ke luar kota. Satu pompa saya kirimkan sedang empat
lainnya saya minta mereka datang untuk mengambil. Mereka datang mengambil dan
membayar biayanya. Saya lega, semuanya beres.
Seminggu kemudian perusahaan yang di Jakarta menelpon dan
menanyakan soal pompanya. Saya dengan ringannya mengatakan bahwa pompanya sudah
selesai dan sudah dikirim ke pabrik Surabaya. Ternyata inilah awal masalah. Pabrik
Jakarta merasa itu adalah pompa dia, Pabrik Surabaya juga merasa begitu. Saya
menjelaskan ke Pabrik Surabaya bahwa memang satu pompa yang awal itu adalah
dari Jakarta. Buktinya bahwa ada kardusnya. Pabrik Surabaya tidak pernah
mengirim dengan kardus. Saya baru sadar bahwa sudah terjadi salah persepsi di
benak saya. Dua perusahaan itu memang menelpon pada rentang waktu yang
bersamaan. Saya pikir mereka menanyakan satu pompa yang sama, ternyata mereka
masing-masing merasa mengirim satu pompa ke tempat saya. Di saya hanya ada satu
pompa, yang dari Jakarta. Jadi masalahnya ada di pompa yang katanya dikirim
dari Surabaya. Perusahaan Surabaya itu memang menolak mengembalikan satu pompa pertama
yang sudah saya kirim, walaupun mereka satu pemilik tapi mereka memang memiliki
manajeman yang berbeda. Mereka tidak dapat menunjukkan tanda bukti pengiriman
dan penerimaan pompa yang katanya dikirim dua bulan lebih yang lalu. Operator
mesin itu bilang bahwa ia hanya disuruh mengirim ke bengkel saya tanpa surat
jalan (karena sudah lama mengenal saya) dan juga tidak diberi tanda terima oleh
bagian administrasi saya. Saya tidak bisa berbantahan karena memang kita sudah
lama saling mengenal dan saling percaya. Saya melacak di bengkel, tidak ada
pompa dan tidak ada yang menerima pengiriman pompa seperti yang mereka
katakan. Posisi saya secara
administratif kalah, karena saya menandatangani lima pompa pada surat jalan
terakhir itu. Harga sebuah pompa itu puluhan juta rupiah. Saya sempat berpikir
bahwa saya dijebak, tapi harusnya tidak juga, kita sudah lama saling mengenal
dan bekerjasama dengan baik.
Saya harus mampu menunjukkan bahwa satu pompa itu dari
Jakarta dan Pabrik Surabaya tidak pernah mengirim pompa ke tempat saya. Saya
berjanji untuk datang lagi ke Pabrik di Surabaya ini dan menyelesaikan masalah
ini.
Siang itu saya datang. Kami duduk di ruang depan pabrik
itu. Pabrik itu merangkap tempat tinggal bagi karyawannya, rasanya kamar tidur
mereka ada di lantai dua. Ada meja besar, kami duduk mengelilingi meja itu. Meja
itu mungkin juga berfungsi sebagai meja makan bagi staf mereka yang sekitar 20
orang. Saya duduk di hadapan Sang Kepala Pabrik. Kami berbincang akrab.
Kemudian dipanggilkan operator mesin yang katanya dulu mengirim pompa ke
bengkel saya. Dia duduk di dekat saya. Di meja disediakan es teh manis, ada
toples krupuk di meja lain yang lebih kecil.
“Bapak dulu yang kirim pompa ke bengkel saya ya?”
“Ya.”
“Kapan pak?”
“Sudah lama lebih dari dua bulan lalu”
“Sebulan sebelum puasa?”
“Ya kira-kira begitu”
Suasana cukup santai. Saya berbincang dengan santai saja.
Ini bapak yang dulu nampak tidak ramah saat kunjungan pertama itu. Saya juga
meminum hidangan teh manis itu. Tehnya enak.
Bapak itu kemudian berpindah dari dekat saya menuju meja
kecil yang ada toples krupuknya. Dia mengambil dan memakan krupuk itu.
“Tenaga Administrasi saya dua orang Pak, yang satu
berjilbab dan satu lagi tidak. Yang mana yang dulu menerima pompa dari Bapak?”
“Yang tidak berjilbab.”
Kami terus berbincang dengan santai, juga tentang alasan
dia yang tidak menggunakan surat jalan dan tanda terima. Saya akhiri pertemuan
itu dengan janji akan melacak masalah ini di bengkel saya.
Beberapa hari kemudian saya menelpon Kepala Pabrik itu.
Atas dasar hubungan baik selama ini, saya meminta pengertiannya agar saya bisa
mengatakan apa yang saya tahu dan rasakan dengan sejujurnya. TIdak ada
keinginan sedikitpun untuk membela diri dengan membuta. Beliau setuju.
“Koh (begitu saya biasa memanggil Kepala Pabrik itu),
saya merasa ada yang kurang beres dari operator itu. Pertama, anak buah saya
yang tidak pakai jilbab itu, dua bulan sebelum bulan puasa sudah cuti karena
mau melahirkan, cuti 3 bulan. Kedua, dia berpindah dari duduk di dekat saya
kemudian menjauh saat kita berbicara. Itu menunjukkan bahwa dia tidak nyaman
ada di dekat saya sepanjang perbincangan itu. Saya merasa dia tidak jujur saat
itu.”
“Masak sih?”
“Iya, itu perasaan saya. Tapi saya minta maaf, bukan
bermaksud membela diri, cuma itu pengamatan saya.”
Tanpa saya duga beliau mengatakan, “Saya sudah menanyakan
ke driver saya yang mengantar operator itu, mereka memang pernah dua kali ke
bengkel yang pertama mengirim pompa dan kemudian mengambil setelah diperbaiki
dan tidak pernah mengirim pompa lagi.”
Berarti analisa saya benar!
Saya percaya bahwa perilaku seseorang mampu mengungkapkan
hal-hal yang sebenarnya ada dibenaknya. Banyak orang bilang, “mata tidak bisa
bohong.” Benar, tapi bukan sekedar mata. Ada hal yang sering terlewatkan yang
bisa kita baca dari orang lain. Posisi dan sikap kaki dari lawan bicara kita.
Orang yang merasa nyaman berbincang dengan kita akan nampak dari sikap kakinya
yang simetris (mirip) dengan posisi kaki kita. Orang yang tidak sabar berbicara
dengan kita akan menampakkan posisi kaki yang siap menjauh dari kita. Dua orang
yang akrab berbincang, posisi kaki mereka, sekalipun di bawah meja, pasti akan
saling mendekat. Bila kedua pasang kaki mereka menjauh, mungkin ditekuk masuk
ke bawah kursinya, kemungkinan besar mereka tidak akrab, atau saling menjaga
jarak dalam pertemuan itu.
Seorang yang tidak merasa nyaman akan berusaha membuat
dirinya nyaman. Operator itu tidak nyaman ada di dekat saya, ia berusaha
menjauh dan menenangkan dirinya dengan memakan kerupuk. Hal seperti ini memang
bukan patokan yang jelas perihal sebuah kebenaran, tetapi ini bisa menjadi
penanda dari sesuatu yang perlu diamati dengan lebih seksama.
Semoga cerita ini bisa bermanfaat.
(kelanjutannya.....)