08 November 2012

Membaca Perilaku



Hari itu saya agak takut juga melihat ada tanda panggilan tak terjawab dari Jakarta. Pasti itu menanyakan soal pompa vakum yang sudah dua bulan lebih di rumah saya dan belum juga saya perbaiki. Perusahan ini memang sudah lebih dari lima belas tahun mengenal saya. Mereka selalu mengirimkan pompa yang rusak ke tempat saya untuk diperbaiki.  Alat ini memang tidak besar, hanya sebesar dua kotak sepatu. Tidak banyak orang yang mengerti prinsip dasar pompa itu. Kelihatannya semua orang mampu membongkar pasangnya, tapi hasilnya selalu beresiko bertambah parah kinerjanya. Dulu saya pernah diikutkan pelatihan oleh perusahaan tempat saya bekerja untuk masalah pompa ini, hingga saya memahaminya. Saat ini saya sudah tidak bekerja di perusahaan itu lagi, saya tidak punya alat ukur untuk mengukur kinerja pompa itu. Alat ukur itu sangat mahal harganya. Saya hanya mendasarkan pada perasaan saya saja. Pompa yang ada di rumah saya itu seharusnya dulu sudah pernah saya perbaiki. Pompa ini dikirim balik karena kinerjanya masih tidak sempurna. Ini pasti karena saya tidak memakai alat ukur itu untuk pengujian akhirnya. Saya memang cukup sibuk akhir-akhir ini, disamping sebenarnya saya juga enggan, apalagi yang harus saya lakukan dengan pompa ini?

Keesokan harinya, saya menerima telpon dari seorang yang juga sudah lama saya kenal. Orang ini dari perusahaan di Surabaya yang pemiliknya sama dengan perusahaan yang di Jakarta itu. Saya sudah berpraduga bahwa ini pasti akan menanyakan soal pompa vakum juga. Benar sekali, dia langsung menanyakan soal pompa vakum yang katanya sudah lama ada ditempat saya. Saya langsung minta maaf karena sudah merasa bersalah. Saya mengutarakan kesulitan saya yang tidak punya alat ukur itu, sehingga mungkin hasilnya tidak bisa saya uji dengan akurat. Beliau mengundang saya untuk datang ke pabriknya untuk melihat kondisi pemakaian pompa itu di mesinnya. Bertahun-tahun saya melayani perusahaan ini, tidak pernah mereka mengundang saya datang ke tempatnya. Mereka selalu mengirim dan mengambil pompa itu. Saya tahu bahwa proses produksi mereka sangat dirahasiakan. Ini kesempatan langka. Saya berjanji untuk datang keesokan harinya.

Tidak berselang lama, saya mendapat telpon lagi dari perusahaan yang Jakarta. Saya mengatakan bahwa besok saya akan melihat mesin produksi yang di Surabaya dan sudah berjanji untuk segera menyelesaikan perbaikannya.

Saya datang ke pabrik itu. Mesin mereka memang bagus-bagus. Saya diperkenalkan pada operator mesin itu. Orang itu tidak nampak ramah, bisa jadi karena dia sibuk dan kehadiran saya bisa jadi malah menjadi beban tambahan buatnya. Saya bisa maklum akan hal ini. Saya diberi lagi empat buah pompa vakum yang rusak dan beberapa part untuk saya buatkan sesuai contoh. Kepala pabrik itu menuliskan surat jalan sebagai tanda bukti penerimaan saya akan semua peralatan itu. Beliau menuliskan lima pompa vakum, sambil mengatakan bahwa satu buah sudah ada ditempat saya. Saya setuju, yang satu buah di tempat saya dulu itu, memang saya terima dari ekpedisi dan tidak ada tanda terima dari saya untuk mereka. Beliau mendesak saya untuk segera memperbaikinya karena sudah sangat membutuhkannya. Saya menyanggupinya.

Saya segera menyelesaikan lima pompa itu, karena minggu depannya saya juga harus ke luar kota. Satu pompa saya kirimkan sedang empat lainnya saya minta mereka datang untuk mengambil. Mereka datang mengambil dan membayar biayanya. Saya lega, semuanya beres.

Seminggu kemudian perusahaan yang di Jakarta menelpon dan menanyakan soal pompanya. Saya dengan ringannya mengatakan bahwa pompanya sudah selesai dan sudah dikirim ke pabrik Surabaya. Ternyata inilah awal masalah. Pabrik Jakarta merasa itu adalah pompa dia, Pabrik Surabaya juga merasa begitu. Saya menjelaskan ke Pabrik Surabaya bahwa memang satu pompa yang awal itu adalah dari Jakarta. Buktinya bahwa ada kardusnya. Pabrik Surabaya tidak pernah mengirim dengan kardus. Saya baru sadar bahwa sudah terjadi salah persepsi di benak saya. Dua perusahaan itu memang menelpon pada rentang waktu yang bersamaan. Saya pikir mereka menanyakan satu pompa yang sama, ternyata mereka masing-masing merasa mengirim satu pompa ke tempat saya. Di saya hanya ada satu pompa, yang dari Jakarta. Jadi masalahnya ada di pompa yang katanya dikirim dari Surabaya. Perusahaan Surabaya itu memang menolak mengembalikan satu pompa pertama yang sudah saya kirim, walaupun mereka satu pemilik tapi mereka memang memiliki manajeman yang berbeda. Mereka tidak dapat menunjukkan tanda bukti pengiriman dan penerimaan pompa yang katanya dikirim dua bulan lebih yang lalu. Operator mesin itu bilang bahwa ia hanya disuruh mengirim ke bengkel saya tanpa surat jalan (karena sudah lama mengenal saya) dan juga tidak diberi tanda terima oleh bagian administrasi saya. Saya tidak bisa berbantahan karena memang kita sudah lama saling mengenal dan saling percaya. Saya melacak di bengkel, tidak ada pompa dan tidak ada yang menerima pengiriman pompa seperti yang mereka katakan.  Posisi saya secara administratif kalah, karena saya menandatangani lima pompa pada surat jalan terakhir itu. Harga sebuah pompa itu puluhan juta rupiah. Saya sempat berpikir bahwa saya dijebak, tapi harusnya tidak juga, kita sudah lama saling mengenal dan bekerjasama dengan baik.

Saya harus mampu menunjukkan bahwa satu pompa itu dari Jakarta dan Pabrik Surabaya tidak pernah mengirim pompa ke tempat saya. Saya berjanji untuk datang lagi ke Pabrik di Surabaya ini dan menyelesaikan masalah ini.

Siang itu saya datang. Kami duduk di ruang depan pabrik itu. Pabrik itu merangkap tempat tinggal bagi karyawannya, rasanya kamar tidur mereka ada di lantai dua. Ada meja besar, kami duduk mengelilingi meja itu. Meja itu mungkin juga berfungsi sebagai meja makan bagi staf mereka yang sekitar 20 orang. Saya duduk di hadapan Sang Kepala Pabrik. Kami berbincang akrab. Kemudian dipanggilkan operator mesin yang katanya dulu mengirim pompa ke bengkel saya. Dia duduk di dekat saya. Di meja disediakan es teh manis, ada toples krupuk di meja lain yang lebih kecil.
“Bapak dulu yang kirim pompa ke bengkel saya ya?”
“Ya.”
“Kapan pak?”
“Sudah lama lebih dari dua bulan lalu”
“Sebulan sebelum puasa?”
“Ya kira-kira begitu”
Suasana cukup santai. Saya berbincang dengan santai saja. Ini bapak yang dulu nampak tidak ramah saat kunjungan pertama itu. Saya juga meminum hidangan teh manis itu. Tehnya enak.
Bapak itu kemudian berpindah dari dekat saya menuju meja kecil yang ada toples krupuknya. Dia mengambil dan memakan krupuk itu.
“Tenaga Administrasi saya dua orang Pak, yang satu berjilbab dan satu lagi tidak. Yang mana yang dulu menerima pompa dari Bapak?”
“Yang tidak berjilbab.”
Kami terus berbincang dengan santai, juga tentang alasan dia yang tidak menggunakan surat jalan dan tanda terima. Saya akhiri pertemuan itu dengan janji akan melacak masalah ini di bengkel saya.

Beberapa hari kemudian saya menelpon Kepala Pabrik itu. Atas dasar hubungan baik selama ini, saya meminta pengertiannya agar saya bisa mengatakan apa yang saya tahu dan rasakan dengan sejujurnya. TIdak ada keinginan sedikitpun untuk membela diri dengan membuta. Beliau setuju.
“Koh (begitu saya biasa memanggil Kepala Pabrik itu), saya merasa ada yang kurang beres dari operator itu. Pertama, anak buah saya yang tidak pakai jilbab itu, dua bulan sebelum bulan puasa sudah cuti karena mau melahirkan, cuti 3 bulan. Kedua, dia berpindah dari duduk di dekat saya kemudian menjauh saat kita berbicara. Itu menunjukkan bahwa dia tidak nyaman ada di dekat saya sepanjang perbincangan itu. Saya merasa dia tidak jujur saat itu.”
“Masak sih?”
“Iya, itu perasaan saya. Tapi saya minta maaf, bukan bermaksud membela diri, cuma itu pengamatan saya.”
Tanpa saya duga beliau mengatakan, “Saya sudah menanyakan ke driver saya yang mengantar operator itu, mereka memang pernah dua kali ke bengkel yang pertama mengirim pompa dan kemudian mengambil setelah diperbaiki dan tidak pernah mengirim pompa lagi.”
Berarti analisa saya benar!

Saya percaya bahwa perilaku seseorang mampu mengungkapkan hal-hal yang sebenarnya ada dibenaknya. Banyak orang bilang, “mata tidak bisa bohong.” Benar, tapi bukan sekedar mata. Ada hal yang sering terlewatkan yang bisa kita baca dari orang lain. Posisi dan sikap kaki dari lawan bicara kita. Orang yang merasa nyaman berbincang dengan kita akan nampak dari sikap kakinya yang simetris (mirip) dengan posisi kaki kita. Orang yang tidak sabar berbicara dengan kita akan menampakkan posisi kaki yang siap menjauh dari kita. Dua orang yang akrab berbincang, posisi kaki mereka, sekalipun di bawah meja, pasti akan saling mendekat. Bila kedua pasang kaki mereka menjauh, mungkin ditekuk masuk ke bawah kursinya, kemungkinan besar mereka tidak akrab, atau saling menjaga jarak dalam pertemuan itu.

Seorang yang tidak merasa nyaman akan berusaha membuat dirinya nyaman. Operator itu tidak nyaman ada di dekat saya, ia berusaha menjauh dan menenangkan dirinya dengan memakan kerupuk. Hal seperti ini memang bukan patokan yang jelas perihal sebuah kebenaran, tetapi ini bisa menjadi penanda dari sesuatu yang perlu diamati dengan lebih seksama.

Semoga cerita ini bisa bermanfaat.
(kelanjutannya.....)

26 Oktober 2012

Live in Klenteng

Pada 7 dan 8 September 2012, Departemen Oikmas GKI SW Jatim Klasis Madiun mengadakan acara Live In Klenteng Kwan Im Kiong Pamekasan, Madura. Sebanyak 72 orang peserta mengamati prosesi Sembahyang Rebutan yang diselenggarakan di sana. Ada jemaat biasa, banyak penatua, pengurus komisi, dan beberapa Pendeta. Kami juga berpartisipasi dalam aksi sosial yang mereka adakan untuk masyarakat sekitar Klenteng. Malam harinya kami mendengarkan penjelasan perihal ritual dan agama mereka. Keesokan harinya kita mendiskusikan hal-hal yang perlu kita sikapi secara internal.

Arca yang menjadi pusat pemujaan di Klenteng ini berasal dari abad 14. Menurut penelitian para arkeolog, itu arca Tri Buana Tunggadewi dari kerajaan Majapahit. Karena ini ditemukan oleh komunitas orang Tionghwa, maka mereka menyebut arca wanita ini adalah Kwan Im, Dewi Welas Asih. Maka jadilah Klenteng ini menjadi tempat pemujaan Dewi Kwan Im. Klenteng ini sudah berdiri sejak abad 17 dipinggir laut di desa Candi Kabupaten Pamekasan, Madura. Di lingkungan klenteng ini ada 7 sumur yang airnya tawar dan jernih. Di luar pagar Klenteng air sumur selalu asin, sehingga masyarakat sekitar selalu mengambil air di dalam klenteng untuk kebutuhan sehari-hari mereka.

Hampir semua diantara kita yang baru kali ini masuk, mengamati dan mendapat penjelasan tentang semua yang ada di Vihara, khususnya Avalokitesvara ini. Itu nama lain dari Klenteng Kwan Im Kiong ini. Saya juga baru tahu soal TITD, Tempat Ibadah Tri Darma. Tri Darma, karena mereka menyediakan pemujaan untuk tiga agama. Ada Budha, Ada Kong Hu Cu, Ada Tao. Ini semua terjadi karena situasi politik yang timbul sejak peristiwa 1965, saat budaya Tionghwa dilarang, termasuk agama Kong Hu Cu. Mereka harus berlindung di dalam Agama Budha.

Sebagian peserta berbaur bersama umat yang melaksanakan ritual rebutan. Bermacam panganan diperebutkan saat pemimpin ritual menyatakan “Pak Pwe”. Undian yang merupakan pertanda bahwa semua sesaji itu sudah selesai dihidangkan untuk para leluhur mereka.

Sebagian lagi, aktif berbincang dengan umat yang ada. Mendengarkan penjelasan tentang apa saja di Klenteng itu. Ada yang belajar tentang ritual ramalan melalui ‘Jiam Sie”. Ada yang belajar cara mengatur tangan saat memberikan salam “Pai”. Tangan kanan ditutup oleh tangan kiri, kedua jempol dipertemukan, merupakan simbol kedua orang tua kita. Delapan jari lainnya merupakan simbol delapan dasar ajaran kehidupan. Suasana begitu akrab dan ceria.

Kegiatan ini tidak hanya berguna menambah pengetahuan kita. Diluar acara, kami berbincang santai. Apa yang kita lakukan saat ini merupakan suatu yang mengejutkan mereka. Memang sering ada gereja yang meminjam tempat mereka, tetapi tidak pernah melibatkan mereka.  Baru kali ini ada Gereja yang meminta mereka berbicara menjelaskan perihal ritual dan agama mereka. “Anak dan istri saya sudah menjadi Kristen” Kata Bapak Imam Santoso, pemimpin ritual Sembahyang Rebutan. “Bila kemari, mereka tidak mau turun dari mobil, apalagi makan bersama di Klenteng ini”. Ada juga komentar: “Awalnya secara internal banyak diantara kita yang bertanya-tanya apa maksud Gereja datang kesini”. “Beberapa orang diantara kita mencurigai rencana ini”.

Saat acara tanya jawab, memang terasa bahwa ada sesuatu yang harus dipahami diantara kita. Ada peserta yang bertanya, “Apakah tidak terjadi kultus individu?” Saat itu dijelaskan bahwa mereka memuja para orang yang mereka anggap berjasa dalam kehidupan ini, termasuk orang tua dan leluhur mereka. Sang pembicara menangkap makna nada negatif dari sang penanya dan berusaha membela konsep itu, namun sang penanya juga tidak merasa  bahwa “kultus individu” itu bukan sesuatu tabu bagi umat Kong Hu Cu. Dua kondisi yang punya dua nilai dasar yang berbeda. Sempat juga terungkap, ”Istri saya yang menjadi Kristen sudah sering menanyakan saya, apa jadinya nanti bila dia mati dan masuk surga. Kemana saya akan masuk? Tapi saya tidak takut koq” Mereka tidak mengenal konsep kehidupan sesudah kematian. Jadi bagi mereka surga bukan sesuatu yang penting. Kebajikan dan kebaikan hidup ini lebih penting dari pada mengejar kehidupan setelah kematian.

Hingga acara ini berakhir, bisa jadi tidak ada penginjilan ataupun pemberitaan kasih Tuhan Yesus bila hanya dilihat dari tidak adanya seorangpun dari mereka yang mau menerima Yesus sebagai Juru Selamat mereka. Tetapi tidak bagi saya yang terlibat penuh berinteraksi dengan mereka semenjak pertemuan pertama, saat kami survai lokasi ini bulan yang lalu. Ada perbedaan sorot mata mereka, awalnya mereka penuh selidik tentang maksud kedatangan kami. Hari itu setelah acara ini selesai, mereka mengungkapkan keheranan dan penghargaannya atas kesediaan kita untuk hadir di sana. Mereka telah melihat sosok kelompok Kristen yang lain, yang mau bergaul bersama dan menghargai mereka. Saat itu kami merasa mampu menghadirkan Kasih Yesus yang juga mampu menentramkan hati mereka. Kasih Yesus yang ada untuk mereka rasakan melalui kegiatan ini. (kelanjutannya.....)

22 April 2012

Live in Tengger

Departemen Oikumene dan Kemasyarakatan Klasis Madiun mengadakan acara "Live in Tengger" pada 30 dan 31 Maret 2012. 37 peserta tinggal di rumah penduduk di desa Ngadirejo, 5 Km dari Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo. Kami tidur seadanya di ruang tamu, kamar atau seadanya tempat di rumah yang bersedia ditempati. Di sana kami belajar tentang agama, adat istiadat dan budaya masyarakat Tengger.

Tengger memang berasal dari nama Roro Anteng dan Joko Seger, pelarian dari Kerajaan Majapahit, meski kebudayaan di sana sudah ada jauh sebelumnya. Ada prasasti yang ditemukan yang merupakan peninggalan masa kerajaan Singosari. Hingga kini mereka masih berkomunikasi dengan bahasa yang mereka yakini sebagai bahasa Jawa Kuno. Bahasa yang kedengaran asing walau saya fasih berbahasa Jawa. Mereka menggunakan banyak bunyi A bukan O seperti lazimnya bahasa Jawa.

Malam itu kami belajar dari Bapak Dukun Pandhita, juga Bapak Bambang selaku Ketua Parisadha, dan Bapak Atmo selaku Guru Agama, dipandu oleh Pdt. Simon Filantropa. Mereka menerima dan menyambut kami dengan sangat baik. Bapak Dukun Pandhita selaku orang yang paling disegani di komunitas itu mengawali pembicaraannya dengan menyampaikan rasa terima kasihnya atas bantuan yang pernah diterima oleh masyarakat Tengger pada musibah yang lalu. Ini menunjukkan hubungan yang indah yang sudah terbentuk antara mereka dan GKI Sinode Wilayah Jawa Timur.

Awal 2011 mereka mengalami musibah hujan abu/pasir yang meluluhlantakkan desa dan kehidupan mereka. Sisa-sisatimbunan pasir masih ada dimana-mana. Tebalnya ada yang 50 cm sampai satu meter. Banyak rumah roboh karena atapnya tidak mampu menahan beban abu/pasir setebal itu, termasuk gedung SD desa itu. Secara ekonomi mereka jadi terpuruk, karena seluruh tanah kebun mereka tertutup pasir yang mengandung belerang yang tidak memungkinkan mereka bercocok tanam lagi. Memang hujan bisa mengikis pasir itu dan perlahan-lahan kini mereka mulai bisa bertanam lagi. GKI SW JATIM pernah membantu mereka dengan bersama-sama menanam bibit bawang dan kubis.

Secara budaya mereka pernah mengalami tekanan. Sebelum tahun 1978 masyarakat Tengger dipaksa untuk menjalankan ritual agama Budha oleh pemerintah, meskipun mereka tidak mengakui Sidharta Gautama. Sejak tahun 1978 baru mereka diakui sebagai bagian dari agama Hindu. Mereka berbeda dengan Hindu Bali dalam penggunaan bahasanya. Hindu Bali menggunakan bahasa Sansekerta sedangkan mereka menggunakan bahasa Jawa. Bila di Hindu Bali ada Karma, maka mereka menyebutnya Kualat. Hindu Bali mengenal Kasta, sedangkan mereka tidak. Mereka juga menggunakan "pasaran" (hitungan hari) Jawa. Mereka beribadah di pura pada setiap Kliwon. Budaya Jawa terasa sangat kuat terjalin dengan agama Hindu mereka. Perhitungan-perhitungan hari baik untuk melakukan suatu kegiatan menjadi bagian hidup mereka. Mereka menghitung hari yang tepat untuk menanam. Bila yang ditanam adalah tanaman kubis maka perhitungan harus jatuh pada buah. Bila yang ditanam adalah kentang maka perhitungan harus jatuh pada "oyot" (akar).

Seorang Dukun Pandhita adalah pemimpin spiritual yang tertinggi. Ia harus seorang laki-laki dan merupakan keturunan Dukun Pandhita sebelumnya dan harus lulus ujian membaca mantra di "Ponten" di gunung Bromo. Untuk beradaptasi dengan kemajuan jaman, maka sekarang ada syarat tambahan yaitu minimal harus lulus SMP.

Semua peserta dapat dengan bebas bertanya apa saja. Ada yang menanyakan perihal jendela kaca menghadap ke jalan yang ada di kamar mandi yang digunakannya. Dia kaget dengan jendela yang memungkinkan orang yang lewat melihat orang yang sedang mandi. Pak Atmo menjawab, itu bukan bagian dari budaya, tetapi itu dampak dari bencana. Dulu sebelum bencana, jendela itu cukup tinggi letaknya dari jalan sehingga tidak memungkinkan orang lewat melihat ke dalam. Pasir Bromo telah menimbun jalan itu setinggi satu meter , sehingga jendela itu kini tidak terlalu tinggi lagi.

Pada hari kedua kami bermain bersama 69 siswa SD di desa itu. Pak Raden Satriadi memimpin acara itu. Mereka kini harus belajar di tenda. Gedung kelas mereka telah roboh. Kita melihat mereka dengan rasa prihatin,namun mereka tampak tetap bersemangat. Tahun lalu saat mereka baru dilanda bencana, salah seorang murid berhasil mencapai nilai UNAS matematika yang tertinggi. Saat itupun, dua siswa tidak dapat bermain bersama kami karena harus mengikuti seleksi Olimpiade IPA di kota. Semuanya ini pasti karena pengabdian para guru.
Tak heran pada saat permainan yang mengharuskan mereka menyebutkan cita-citanya, sebagian besar dari mereka menyatakan bercita-cita menjadi guru. Bapak dan Ibu Guru mereka pasti telah menjadi sosok yang ingin mereka teladani.

Pak Raden membuat suasana permainan itu menjadi meriah dan mendidik. Kamipun kagum dengan semangat dan kenyataan yang harusnya tidak sebanding dengan kendala dan keterbatasan yang mereka alami. Di permainan terakhir Pak Raden membagikan beberapa lembar kertas kepada masing-masing kelompok. Mereka diminta untuk membuat bangunan apa saja dengan kertas itu. Sebuah kelompok membuat bagunan rumah di pinggir mejanya. Ada jendela dan pintu di rumah itu. Saat ditanya kenapa di dinding yang ada tepat di pinggir meja itu tidak ada jendelanya? Seorang anak menjawab ,"Tidak perlu,Pak. Sebab di situ khan jurang…" Mereka sanggup berimajinasi dan semoga bisa terus menghidupkan dan mewujudkan keindahan imajinasinya itu.

Saat permainan usai, kami membagikan bingkisan buat mereka. Kami kemudian memohon pamit. Bapak Kepala Sekolah memohon kami menunggu sebentar. Ternyata mereka telah mempersiapkan tarian untuk menghantar kami. Mereka menari "Jaran Kibar" dengan diiringi musik gendang yang dimainkan oleh siswa SD itu. Sungguh suatu tampilan yang indah dan mengharukan. Keterbatasan tidak membuat mereka menjadi penerima saja, tetapi mereka mampu memberikan apa yang mereka sanggup berikan dan persembahkan. Kearifan yang menjadi kekayaan nurani mereka.

Acara ini memberi banyak pencerahan tentang realitas keberagaman di masyarakat kita. Panggilan untuk menjadi berkat bagi sesama menuntut untuk mau mengenal semua sesama itu dengan lebih baik.

Sampai jumpa di acara Live-In berikutnya.
(kelanjutannya.....)