Acara Konven Pendeta meninggalkan banyak kisah yang menarik tentang kehidupan seputar pendeta. Pendeta juga manusia yang bisa salah dan bisa benar, bisa baik dan bisa menjengkelkan juga. Kisah menarik yang ada di seputaran konven ini semoga bisa bercerita tentang hal ini. Pendeta juga manusia.
Profesi pendeta tidak selamanya membuat pendeta menjadi sosok serius dan dingin. Sekelompok pendeta bisa punya rasa humor yang tinggi dan kreatif, mereka bisa menghadirkan tawa yang terus berderai saat mereka tampil dalam acara Ludruk Seduluran. Mereka hanya berlatih sekali di sore hari saat peserta lain beristirahat setelah tiba di Hotel. Semua bisa tertawa renyah dan gembira. Penampilan mereka diakhiri dengan pengundian hadiah sebuah Laptop. Undian yang diambil oleh pemain gamelan membuat seorang pendeta dari sebuah kota kecil beruntung mendapatkan laptop itu. Dengan spontanitas dan suasana humor seorang pemain Ludruk menyerahkan Laptop itu dengan celetukan kata "Pendeta Duafa". Gara-gara celetukan itu, malam hari itu panitia memanen protes dari beberapa peserta. Kreatifitas ternyata juga bisa berdampak kebablasan juga.
Pendeta GKI juga bagai suluh dalam kedisiplinan. Kebaktian kita yang teratur. Jam kebaktian yang selalu tepat waktu. Peyusunan program tahunan yang detail. Ketaatan pada Tata Gereja. Semua itu menjadikan sosok pendeta sebagai sosok penuh kedisiplinan. Di hari kedua panitia mengalami masalah dengan bus yang tidak datang. Bus yang seharusnya datang di Hotel Purnama, ternyata datang di GKI Diponegoro. Mereka salah melihat jadwal. Jadilah panitia harus berimprovisasi dengan armada yang ada untuk mengantar para peserta menuju 9 lokasi Sambang Dulur. Dengan kondisi darurat itu, ternyata ada juga bis yang tidak kunjung berangkat, padahal jadwalnya sudah terlambat sekitar satu jam. Bis itu harus menunggu satu orang pendeta yang belum naik dan tidak tahu dimana keberadaannya. Akhirnya sang pendeta datang juga dengan berlenggang kangkung dan tidak ada ketergesaan dan biasa saja. Betapa menggemaskannya.
Saat pendaftaran peserta, para pendeta sudah ditanya soal kebutuhan pengantaran ke tempat pemberangkatan saat mereka akan kembali ke kota masing-masing. Ternyata hanya beberapa orang saja yang menyatakan membutuhkan bantuan pengantaran ke Bandara Abdurahman Saleh, Bandara Juanda maupun stasiun kereta api. Dihari kedua, ternyata jumlahnya meledak. Dari delapan orang yang terdaftar untuk diantar ke Bandara Abdurahman Saleh meledak menjadi delapan puluh orang. Seksi Transportasi kelabakan. Belum lagi ada yang minta dengan jadwal khusus. Jam sembilan pagi dari hotel, jam sepuluh, jam sebelas.... macam-macam lah. Saat ada pendeta bertanya,"Pak, apa besok bisa mengantar ke Bandara Juanda Jam 9 pagi?" Setahu saya jadwal itu tidak ada, saya menjawab," Tidak bisa, Bu!" "Lho, jangan menjawab tidak bisa Pak. Ya harus diusahakan!" Saya senyum saja, memang saya tidak seharusnya langsung menjawab begitu. Tapi apakah Beliau sadar bahwa Beliau juga tidak boleh bilang tidak bisa saat mengisi jadwal pulangnya waktu pendaftaran dulu? Tidakkah mereka sadar bahwa tidaklah mudah mengurus transportasi dengan batas waktu yang sudah mendesak itu?
Di hari kedua peserta diajak untuk rekreasi ke Jatim Park 2. Selepas acara Sambang Dulur mereka makan siang dan bersiap untuk masuk ke areal Jatim Park 2. Panitia sudah menyiapkan tanda masuk yang berupa gelang. Beberapa peserta mengurungkan niatnya setelah tahu bahwa harus berjalan kaki cukup jauh di dalam areal Secret Zoo maupun Museum. Beberapa peserta mau langsung balik ke hotel saja. Tidak ada masalah dengan keputusan itu. Hanya saja ada peserta yang langsung membuang tanda masuk itu. Tidak tahukan mereka bahwa tanda masuk itu tidak murah? Harga gelang kertas itu Rp. 50.000,oo. Tidakkah mereka bisa merasa sayang dan mengembalikan agar bisa digunakan oleh orang lain? Bisa jadi kelelahan memang meniadakan kepekaan akan hal ini. Semoga di ladang pelayanan yang sebenarnya, saat mereka lelah mereka tidak kehilangan kepekaan akan nilai-nilai lainnya.
Saat bergaul dengan para Pendeta itu, saya juga bisa merasakan bagaimana mereka juga pernah di"zalimi" oleh jemaatnya juga. Ada pendeta yang bernostalgia tentang temannya yang pernah dihalangi proses kependetaanya karena ada jemaat yang menulis surat keberatan. Alasannya, karena Beliau dulu pernah mau membunuh kucing. Pendeta yang bersangkutan lalu menyambung," Iya, jemaat itu bilang, lha wong sopir aja kalau ada kucing menghindar. Eh, ini koq ada pendeta malah mau mbunuh kucing" Saat itu saya langsung teringat anekdot tentang sopir yang lebih mampu membuat orang lain berdoa dibandingkan pendeta. Ya, karena sopir itu sering menyetir dengan ugal-ugalan sehingga selalu membuat penumpangnya berdoa. Ada juga kisah menyentuh perihal ketaatan pendeta dan keluarganya dalam menjalani panggilan pelayanannya. Ketaatan di dalam kondisi yang serba minim, yang memaksanya harus berpakaian dalam dengan bahan kain bekas kantong tepung terigu.
Di Jatim Pak 2, siang itu ada seorang pendeta yang menyapa, "Anda menantunya Pak Harry ya?" Saya heran. Saya merasa tidak kenal wajah itu. "Saya pernah melayani di Bondowoso" Saya melirik tanda pengenalnya. "Ya, saya ingat Bapak!" "Pak Yahya! Bapak di Bondowoso tahun 79 atau 80an" Saat itu saya masih anak-anak. Saya ingat beliau karena dulu beliau kalau ke rumah saya mengendarai sepeda motor "Magnet" warna abu-abu. Itu benar-benar sepeda motor dengan arti harafiah. Bentuknya mirip sepeda dan bermotor. Ada pedalnya dan untuk mengerem caranya dengan menggenjot pedalnya ke arah belakang. Tahun itu sebenarnya sudah ada sepeda motor yang lebih modern, Yamaha bebek Autolube. Beliau sangat bersahaja dalam pelayanannya dulu. Itulah yang membuat saya ingat akan Beliau.
Semua rasa sudah berpadu dalam konven itu. Banyak cerita suka dan duka terjadi. Ada pendeta yang kehilangan tas, ada juga yang kehilangan kamera. Tapi yang jelas tidak ada yang kehilangan semangat untuk tetap terus bertumbuh dan melayani. Itu karena Pendeta juga manusia dan KITA PUNYA SAHABAT.
14 Agustus 2011
Pendeta juga Manusia
Tanggal 9-11 Agustus 2011 kemarin, ada Konven Pendeta GKI di Hotel Purnama, Batu. Temanya: "Kita Punya Sahabat". Ini sedikit cerita yang mungkin bisa jadi oleh-oleh dari sana.
Langganan:
Postingan (Atom)