06 Mei 2011

GKI Bondowoso yang tidak ada matinya

18 April 2011, ada penahbisan Pdt. Martin K. Nugroho M.Div. sebagai pendeta GKI Bondowoso, sekaligus peresmian gedung GKI Bondowoso setelah direnovasi besar-besaran.
 
Saya sempat hadir mulai Sabtu malam saat mereka melakukan gladi kotor. Kehadiran saya sebenarnya bukan untuk  mendukung acara itu. Sabtu itu mertua saya ulang tahun, jadi malam itu saya memang menjemput beberapa famili yang seharusnya mengikuti acara gladi kotor dan "menculik" mereka untuk makan malam bersama, salah satu menunya pangsit goreng kesukaan Yahya Juanda. Saat tiba di gereja acara memang sudah hampir selesai, tapi di sana-sini masih banyak orang sibuk yang harus mengatur banyak hal. Sangat ramai dan menyenangkan bisa melihat banyak orang yang tidak saya kenal sebelumnya.
 
Gedung gereja ini direnovasi besar-besaran, rasanya kini tidak kalah bagus dan mewah dengan gereja-gereja di kota-kota besar lainnya. Saya mengatakan ini bukannya sebagai suatu kesombongan, tapi benar-benar suatu kekaguman. Saya dibesarkan di gereja ini dan tahu persis pergumulan dan sumber daya yang mereka punyai. Tujuh tahun ini mereka tidak berpendeta, kondisi jemaat juga terpecah dengan dilahirkannya gereja "baru" di seberang pastorinya. Betapa terpuruknya masa itu. Sungguh ini mujizat dimana ada jemaat dan pelayanan yang tidak ada matinya ini.
 
Saat saya melihat banyak orang sibuk itu, saya mencoba mengingat siapa saja beliau-beliau itu. Bisa jadi saya memang tidak mengenalnya, tapi kemungkinan besar saya mengenal keluarganya. Banyak diantara mereka adalah orang baru. Kini mereka bisa aktif melayani, ada yang menjadi pembawa acara, ada pemain musik, yang tidak hanya organis. Dulu untuk mencari seorang organis saja, gereja ini kesulitan. Kini di warta jemaatnya, ada foto latihan organis yang diikuti oleh 6 orang remaja. Ada Ibu yang mau mempersiapkan kostum untuk anak-anak sekolah minggu. Ada juga yang sibuk mempersiapkan sound-system dan peralatan elektronik lainnya. Semuanya kini ada dan bergerak. Bahkan ternyata arsitek gedung baru inipun adalah anak jemaat sendiri.
 
Saat masuk di halaman gereja, ada papan nama yang berisi jadwal ibadah. Yang menarik, Sabtu itu, ada tulisan dibawah papan nama itu "Gedung ini berdiri atas jasa Bp. Haji Atmo Diwirjo". Suatu ungkapan penghargaan setinggi-tingginya kepada almarhum Pak Atmo yang dulu menghibahkan tanahnya untuk gedung gereja ini. Memang kini tulisan itu tidak ada lagi, karena pihak keluarga beliau kurang berkenan atas pencantuman kalimat itu. Keluarga itu tetap punya hubungan yang baik, saat peresmian itupun mereka meminjamkan halaman rumahnya untuk menampung luberan jemaat yang ada. Gereja ini terletak di samping rumah keluarga Pak Atmo.
 
Kehadiran Pdt. Martin memang memberikan banyak perubahan di Bondowoso. Keluarga pendeta ini memang sepertinya disiapkan untuk menghadirkan roh baru di jemaat Bondowoso. Ibu Irma (istrinya) mampu mendukung dengan bakat seni dan musiknya. Beliau melatih banyak anak dan remaja, menari, menyanyi, bermain musik. Sering juga Ibu Irma mengiringi musik di kebaktian minggu, dengan keyboard maupun biola. Keluarga ini memang menjadi motor perubahan di Bondowoso.
 
Ketekunan Pdt. Martin untuk mengunjungi jemaat yang sudah lama tidak muncul atau sempat "sakit hati" sanggup menaikkan jumlah kehadiran di tiap kebaktian dan kegiatan gereja. Komunikasipun juga dirintis dengan "gereja baru" yang tadinya "kompetitor" kini diajak untuk bekerja sama. Semua mulai berubah dan bertumbuh, peresmian gedung gereja itu seakan menjadi satu titik perhentian untuk bersyukur atas segala anugerah dan perubahan yang ada. Perhentian untuk sejenak bersyukur dan kemudian melanjutkan perjuangan yang lebih besar lagi. Saat sambutan peresmian oleh Wakil Bupati Bondowoso, beliau berkata,"Saya kagum dengan gedung ini, karena interiornya menggunakan bahan yang belum pernah saya lihat sebelumnya, khususnya di Bondowoso ini....." Interior gereja ini memang menggunakan ekspose serutan kayu dan semen.
 
Saat acara berlangsung, Pak Charles Sihombing berkata,"Sound systemnya bagus ya..." Saya heran, karena peralatan yang ada adalah peralatan yang saya tahu sudah lama ada. Saya lihat ada dua orang yang diminta hadir khusus untuk membantu mengaturnya. Segala sesuatu mungkin bisa maksimal kalau kita mau mengatur dan mendayagunakan dengan penuh rasa syukur terhadap apa yang ada.
 
GKI Bondowoso ini bisa menjadi monumen pernyataan kuasa dan komitmen Tuhan akan penyertaanNya dalam pelayanan kita. Ini juga menjadi bukti akan hasil sebuah komitmen yang mau kita persembahan untuk Tuhan. Pdt. Martin memilih thema "Hatiku Persembahanku" untuk penahbisannya. Itu pernyataan Imannya dan itu juga yang menjawab rahasia di balik semua pencapaian ini.
Persembahan hati itulah yang pasti melandasi kemauan beliau untuk memilih menjadi pendeta meninggalkan dunia bisnis yang harusnya dia nikmati. Juga saat beliau memilih GKI Bondowoso, bukan dua GKI kota besar lainnya. Beliau sudah membuktikan komitmen "Hatiku Persembahanku".
 
Jemaat Bondowoso yang tergerakkanpun tidak kalah hebatnya. Mereka mampu mengimbangi semangat pelayanan yang tumbuh ini dengan mempersembahkan semua talenta dan semangat yang ada. Pembangunan itu bukan berarti tak berkendala. Mereka sudah menyatukan hati untuk menghadapi dan mengatasinya. Jemaat yang tergerakkan inipun akhirnya mampu memberikan imbal balik suasana pelayanan yang penuh rasa kekeluargaan. Keakraban diantara jemaat pasti akan kembali memupuk dan mengobarkan semangat pelayanan Pendeta, Majelis Jemaat, dan badan pelayanan lainnya. Suatu mata rantai proses yang mulai terjalin dan akan terus bertumbuh.
 
Hanya dari sebuah "Hatiku Persembahanku" ada sebuah lahan subur dimana pelayanan menjadi tidak ada matinya.
(kelanjutannya.....)

02 Mei 2011

Tuhan yang Menguasai Waktu

Seharusnya hari itu adalah hari yang biasa-biasa saja. Saya cuma harus ke Jakarta untuk presentasi di sebuah galangan kapal. Semestinya saya bisa langsung pulang kembali ke Surabaya pada malam harinya, tetapi karena permintaan seorang rekan untuk merundingkan langkah-langkah lainnya di malam harinya, saya menyiapkan tiket pulang pada malam keesokannya.

Saat presentasi semuanya lancar saja. Melihat galangan kapal memang menjadi sesuatu yang mengasyikkan bagi saya. Suatu dunia yang harusnya saya geluti selulus kuliah dulu. Dunia yang sempat hilang dari kehidupan saya. Rupanya, saat saya berpresentasi, rekan saya merubah status di BB-nya, dan ada beberapa temannya yang membacanya. Ada dua orang yang meresponnya dan menyatakan minat akan topik yang saya sampaikan. Satu di galangan sebelah
dan satu lagi di Pangkalan Susu, Sumatra Utara. Memang setelah selesai saya bisa melanjutkan ke presentasi berikutnya di galangan di daerah Tanjung Periuk itu. Masalahnya, ada rekan yang mendesak saya datang ke Pangkalan Susu, 3 jam dari Medan ke arah Aceh. Pergi ke tempat yang belum pernah saya kunjungi memang selalu menarik bagi saya. Apalagi itu Medan. Kota indah nan semrawut yang selalu menghadirkan banyak kisah saat saya di sana.

Saya memutuskan untuk menerima tawaran ke Pangkalan Susu, berarti saya tidak jadi menginap di Jakarta. Langsung mencari tiket ke Medan, balik ke Jakarta lagi sore keesokannya dan dilanjutkan penerbangan ke Surabaya. Lusanya saya harus di Surabaya, karena hari itu hari terakhir Maret dan saya harus mengurus gajian untuk semua karyawan. Sesuatu yang tidak boleh tertunda.

Seperti biasa, penerbangan malam selalu terlambat. Baru lewat tengah malam saya tiba di Medan. jam lima pagi saya sudah harus siap menuju rumah rekan saya untuk bersama menuju Pangkalan Susu. Medan masih gelap. Tidak ada hal istimewa di perjalanan itu, semua sesuai jadwal. Jadwal pesawat saya jam empat sore menuju Jakarta, jadi jam 12 siang saya sudah harus balik ke Medan dari Pangkalan Susu. Rekan ini mengemudi dengan santun bahkan cenderung pelan. Tapi saya tenang saja karena saat berangkat dia tepat waktu.

Di sepanjang perjalanan kita mengobrol tentang banyak hal yang sarat akan konsep hidup, rupanya dia sangat berminat untuk itu. Saya juga menikmati banyak hal yang menarik di sepanjang jalan, deretan toko-toko tua di Tanjung Pura dan Pangkalan Brandan yang kalau dirawat baik pasti lebih menarik dari China Town di Singapura. Masjid Tua dan perumahan "onderneming" mirip di beberapa tempat di Bondowoso. Sungguh indah negara ini. Saya juga tidak kuatir juga saat dia minta berhenti untuk sholat. Rasanya semua berjalan sesuai jadwal yang sudah saya perhitungkan.

Semuanya bermula saat arloji saya sudah menunjukkan jam tiga kurang sepuluh, ternyata belum ada tanda-tanda bahwa saya sudah di dekat Airport. Saya mulai gelisah tetapi tetap harus sabar dan santun. Ternyata teman ini tidak terlalu hafal jalan di tengah kota Medan. Beberapa kali kita salah jalan dan terjebak macet dan di"macetkan" oleh pengendara "sakti" khas Medan. Dia memang orang Jawa yang asli dan murni budi bahasanya, inilah yang kurang "kompatibel" dengan situasi jalan di Medan, yang saling serobot dan seenaknya sendiri. Saat itulah detik-detik mulai berlalu dengan menegangkan dan mendebarkan. Beberapa kali kita terjebak lampu merah yang berdurasi lebih dari seratus detik. Saya cuma bisa berdoa mohon mujizat Tuhan, Karena
sayapun tidak tahu jalan di Medan. Rekan ini tahu arah ke Airport, tapi jalan ke sananya yang dia tidak hafal! Tapi teman ini tetap tenang berkata,"Bapak jangan terlalu kuatir. Ini Medan, Pak. Segala sesuatu mungkin di sini!"

Saya tiba di Airport Polonia, 15 menit sebelum jadwal penerbangan. Gila! Saya berlari menuju gerbang keberangkatan, menuju counter check in yang ada banyak dan semua penuh sesak dengan antrian. Rasanya memang saya harus pakai gaya Medan kali ini. Antrian itu mungkin lebih dari dua puluh orang di tiap loketnya. Saya langsung menuju loket yang di ujung dan berteriak, "Tolong, tolong, pesawat saya jam empat, tolong saya diurus dulu" Saya sudah tidak
peduli lagi dengan antrian dibelakang saya. Hal buruk yang seharusnya saya benci. Ternyata mereka mau mengurus saya duluan dan Boarding Pass saya terima.

Saya berlari ke loket Airport Tax dan masuk ke ruang tunggu. Suasana begitu ramai dan padat, tapi tidak ada gate yang terbuka. Di layar memang ada Jadwal penerbangan saya , tapi keterangan masih Check-in. Ternyata memang ada keterlambatan untuk jadwal penerbangan saya. Syukurlah, sampai di sini Tuhan telah menolong saya.

Beberapa saat kemudian ada pengumuman bahwa pesawat saya baru akan tiba jam 17.15. Ini masalah baru lagi. Medan - Jakarta sekitar dua jam lebih, pesawat saya dari Jakarta ke Surabaya jam 20.10. Saya pasti ketinggalan pesawat itu, karena saya masih harus check in di terminal yang lain. Naluri saya mengatakan bahwa saya harus belajar cerewet atas masalah ini. Saya akan rugi lumayan banyak, tiket Jakarta-Surabaya. Belum lagi kalau saya tidak mendapat
tiket berarti saya harus menginap satu malam lagi di Jakarta. Biaya Taksi dari dan ke bandara, biaya hotel, ah... semuanya cukup mahal.

Saya menunjukkan tiket Jakarta-Surabaya saya pada petugas Lion air. Mereka tampak biasa-biasa saja, tiket itu memang bukan tiket Lion. Saya sadar, mereka tidak merasa perlu untuk membantu saya. Saya mendesaknya untuk menyadari bahwa keterlambatan mereka yang lebih dari dua jam itu akan sangat merugikan saya. Petugas itu berjanji akan menguruskannya dan dia pergi, lama dia tidak muncul lagi. Saya datangi petugas lainnya, saya desak mereka lagi. Dia juga menggunakan jurus yang sama untuk menghindar dan pergi. Saya
datangi petugas ketiga, saya desak dia lagi. Bagi saya, yang saya lakukan hanyalah "iseng-iseng berhadiah" sembari memanfaatkan waktu menunggu. Saya desak petugas ketiga ini, kali ini dengan tekanan nada yang lebih keras dan modal mata melotot saya. Melihat gelagat dia mau pakai jurus yang sama dengan dua pendahulunya, saya berkata, "Bapak, namanya Andree Christian ya..." sambil saya menuliskannya di tiket saya. Gertakan ini lumayan berhasil. Dia kemudian enggan pergi dan berjanji akan meminta rekannya menguruskan check-in saya di Jakarta. Dia meminta nomer telpon saya.

Beberapa saat kemudian ada panggilan boarding dan saya naik ke pesawat, saya berusaha mencari Andree Christian itu, saya tidak menemukannya. Saya merasa mungkin dia telah memperdaya saya juga. Di pesawat saya duduk di kursi paling belakang. Saya benar-benar pasrah, rasanya saya pasti ketinggalan pesawat ke Surabaya. Tapi saya bersyukur masih bisa terbang ke jakarta mengingat pengalaman siang hari tadi. Yah, masih ada yang bisa disyukuri. Que sera-sera, what will be will be.

Pesawat take-off sekitar jam 18 lebih sedikit dan mendarat di Cengkareng 20.20. Saya sudah pasrah kehilangan uang sejuta lebih lagi. Begitu roda pesawat menyentuh landasan, saya langsung menyalakan telepon saya, hal yang harusnya memalukan saya. Ada SMS, "Pak, saya petugas Lion Air, bapak tunggu di tangga pesawat, akan saya jemput!" Gila, ternyata mereka serius. Saya membalas ,"Ok, saya tinggi 185 cm dan berkaca mata, saya baru landing" "Ya,
pak. Garuda baru boarding." Begitu pesawat berhenti, saya langsung mengambil tas saya dan bersiap untuk segera keluar. Ada pengumuman bahwa penumpang dipersilahkan turun dari pintu depan. Wah, ini masalah lagi. Saya duduk di kursi paling ujung belakang. Saya langsung menelpon nomer itu "Pak, saya Daniel, saya duduk di bangku belakang dan pintu depan saja yang dibuka, saya baru bisa keluar sekitar 15 menit lagi" Ternyata, dari jendela saya melihat ada tangga yang merapat ke pintu belakang dan pintu belakang terbuka. Saya langsung berlari dan menelpon, "Saya menunggu di bawah sayap!" Sebentar kemudian ada mobil berlogo Lion Air yang datang dengan cepat, mereka meminta saya meloncat masuk dan mobil terus berjalan di landasan itu dengan mengebut. Saya duduk dan mereka bilang bahwa Garuda ke Surabaya baru
saja boarding. Saya memang harus pindah terminal. Dia meminta uang untuk membayar airport tax. Saya memberikan uang 50 ribu tanpa meminta kembaliannya. Saya diantar sampai tangga menuju pesawat dan saya terus berlari. Ada orang memberikan boarding pass saya, saya menerimanya sambil terus berlari menaiki tangga dan menunjukkannya ke pramugari yang ada. Saya sangat lega ketika berhasil masuk pesawat itu. Saya gembira, walaupun banyak mata memandang saya, mungkin saya adalah orang kejam yang senyum-senyum ditengah kejengkelan meraka akan keterlambatan yang mereka alami.

Di dalam pesawat, tidak hentinya saya bersyukur akan dua kejadian di dua penerbangan itu. Semua ini terjadi pasti karena kendali Tuhan Sang Penguasa Waktu. Saat pesawat berguncang karena cuaca yang kurang baik, saya malah tersenyum. Tidak ada lagi hal menakutkan yang akan terjadi saat saya tahu bahwa Tuhan yang menguasai waktu. Apapun yang akan terjadi pasti dalam kendaliNya, karena keberadaan saya di pesawat ini pasti dalam kendali dan rencanaNya.

Sungguh pengalaman yang sangat menegangkan di dua penerbangan hari itu. Saya cuma penumpang kelas termurah, tapi apa yang mereka lakukan untuk melayani saya sungguh tak terduga. Semua kekecewaan saya akan keterlambatan pesawat dari Medan tadi sirna dan malah berubah kekaguman akan pelayanan ekstra mereka. Terkadang masalah memang tidak terhindarkan, tetapi ternyata hal yang terpenting adalah sikap kita saat menghadapi dan menyelesaikan masalah itu. Sikap itu malah akan mendatangkan kekaguman yang melebihi masalah yang ada. Terima kasih Andree Christian, Abduh, dan Lion Air, walau tiketmu tidak murah lagi..........

(kelanjutannya.....)