Beberapa hari ini ada beberapa kejadian yang menarik telah terjadi. Ada seorang anak beasiswa yang lulus SMA tahun lalu, kelihatannya nilainya cukup baik. Saya menawarinya untuk bekerja di suatu bengkel milik seorang teman yang memang membutuhkan tenaga baru. Saya memberikan nomer telpon pimpinan bengkel itu kepadanya. Saya minta dia untuk menelpon langsung ke pemilik bengkel itu. Saya sudah agak lupa akan hal ini sampai saya kemudian ingat dan menelpon pemilik bengkel itu. Saya menanyakan tentang anak itu. Dia menceritakan bahwa memang ada yang menelpon dia, tapi dia tidak suka. Anak itu menelpon jam sepuluh malam, saat jam tidur dan teman itu berkesimpulan bahwa ,"Anak itu tidak punya karakter yang baik, saya tidak suka punya karyawan seperti itu." Saya tidak dapat berkata apa-apa lagi, mungkin saya salah sebab tidak memberitahu anak beasiswa itu tentang tata krama menelpon.Atau apakah karena dia berasal dari lingkungan pergaulan yang menengah kebawah yang menyebabkan dia tidak terdidik hingga punya karakter yang baik? Bisakah kemiskinan membawa seseorang jadi kampungan dan tidak berkarakter baik?
Di hari yang lain seorang teman bercerita tentang kejadian yang menimpa temannya. Temannya tinggal di Kanada dan menjadi keluarga yang ditempati oleh mahasiswa magang dari universitas swasta terkenal di Indonesia. Mereka adalah mahasiswa program magang di Kanadaselama beberapa bulan. Bisa dipastikan bahwa mahasiswa ini dari kalangan keluarga yang kaya hingga bisa kuliah di universitas swasta itu dan mengikuti program magang di luar negeri. Mahasiswa itu sudah diberitahu bahwa keluarga di Kanada itu tidak ada pembantu rumah tangganya, jadi segala sesuatu harus dikerjakan sendiri oleh penghuni rumah. Di hari pertama, sudah mulai ada masalah. Sang suami membantu membawakan semua koper ke kamarnya yang di lantai dua, sang mahasiswa tidak mengucapkan terima kasih apapun. Hari-hari berikutnya pun begitu, dia tidak berinisiatif untuk membantu tuan rumah mengerjakan pekerjaan rutin rumah tangga. Rekan itu mengeluhkan tentang karakter mahasiswa ini. Ternyata uang sekolah yang mahal dan sekolah yang terkenal tidak menjamin menghasilkan manusia yang berkarakter baik. Untunglah dengan penampilan yang keren itu tertutupilah kebusukan karakternya.
Sampai di sutu hari, saya dimintai pendapat tentang kinerja seseorang. Pendapat ini memang diminta dengan serius dan rasanya itu akan menentukan perjalanan karier orang itu. Saya tahu bahwa orang yang harus saya nilai itu termasuk orang yang istimewa. Dia pandai, dia mampu mengerjakan tugasnya dengan baik dan lebih dari sekedar baik. Tapi menurut penilaian saya karakter dia kurang baik. Dia kurang bisa menerima pendapat orang lain. Dia juga bukan orang yang bisa menghormati orang yang status sosialnya lebih rendah dari dia. Dia juga bukan orang yang suka membantu dengan ringan tangan pekerjaan orang lain. Seandainya dia diberi soal tentang bagaimana harus bersikap terhadap semua kondisi diatas, saya yakin dia akan menjawab dengan jawaban yang baik dan bernuansa karakter yang baik. Tapi itu tidak muncul di kehidupan sehari-harinya. Andaikan dia gagal dalam kariernya karena penilaian atas karakternya, lalu ini salah siapa? Tanggung jawab siapa? Dia lulus dari universitas yang baik dan pasti disana dia juga belajar dengan baik. Seluruh proses belajar mengajar telah dia lalui dengan baik, tapi kenapa masih ada sesuatu yang kurang baik yang melekat pada dirinya? Salahkah dia secara pribadi?
Ada juga seorang muda yang dari penampilannya bisa ditebak kalau dia "kurang satu strip". Dia memang terlahir dengan tingkat kecerdasan dibawah normal. Jelas bukan salah dia dan bukan salah orang tuanya, hingga dia terlahir begitu. Suatu saat saya berkata ke istri saya," Dia pasti dari keluarga yang sangat baik, mamanya pasti mengajar dia sopan santun dan tata krama dengan baik." Dia sangat sopan. Dia sering bilang," Ko Dan, yok makan dulu" saat dia mau makan sesuatu. Juga di banyak hal dia terlihat sopan, walau tampak dia "O'on". Saya yakin dia hidup di keluarga yang mampu mendidik karakter yang baik. Terpujilah keluarga itu!
Salahkan saya, kalau misalkan saya lahir dan besar di keluarga yang tidak mendidik karakter saya dengan baik? Lalu dimana saya harus belajar berkarakter yang baik? Sekolah sudah tidak menjamin. Pergaulan sehari-hari, juga untung-untungan. Jawaban terbaik ya: "berkarakterlah seperti Yesus". Masalahnya, saat ini Yesus itu sudah tidak nampak dan tak terlihat oleh mata saya lagi. Lalu dimana saya bisa melihat Yesus untuk saya teladani? Sanggupkah gereja menjadi suatu agen pembaharu bagi karakter saya? Sanggupkah semua interaksi saya di gereja membawa saya pada "makin serupa dengan Yesus"? Gereja harus mampu, karena kalau tidak, lalu pada siapa lagi saya bisa belajar?
(kelanjutannya.....)