Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Ungkapan ini sudah sering saya dengar dan baca, terutama di kartu undangan pernikahan. Terlalu sering sehingga bermakna biasa-biasa saja. Siang itu, ungkapan ini punya makna yang agak lain.
Siang itu, di saat training, peserta ditugaskan untuk membaca secara bergilir materi training yang ada. Materi itu terlihat kalau disusun dari beberapa cuplikan yang diambil dari beberapa sumber. Beberapa bagian tampak sekali sistim "copy - paste"nya. Saat giliran saya, saya membaca bagian yang diambil dari suatu buku yang tulisannya cukup kecil, lebih kecil dari tulisan normal yang ada. Saya agak kelabakan, sebab koq ternyata mata saya sulit untuk membaca rangkaian kata-kata itu. Perlu sedikit waktu untuk mengatur jarak dan usaha untuk membaca rangkaian kalimat itu. Memang berhasil juga. Berhasil membaca tulisan itu, juga berhasil mengingat nilai lain dari ungkapan: Indah pada waktunya.
Indah pada waktunya, dulu memberikan kesan janji akan datangnya masa yang indah. Keindahan yang patut dinantikan karena akan datang pada suatu masa nanti. Ungkapan ini menjadi suatu pengharapan akan apa yang akan datang. Termasuk hari indah yang sangat dinantikan oleh pasangan mempelai yang akan menikah. Siang itu, kalimat itu muncul dengan nilai yang lain. Siang itu saya merasa bahwa Keindahan itu punya waktunya dan waktunya itu bisa berlalu. Membaca menjadi sesuatu yang indah bagi saya. Saya sangat menyukainya. Siang itu saya merasa bahwa keiandahan itu akan segera berlalu. Dengan semakin uzurnya usia saya, makin berkurang juga kemampuan mata saya. Akan datang masa dimana membaca sudah tidak indah lagi karena mata ini semakin rabun dekat.
Indah pada waktunya itu, tiba-tiba berarti penghargaan akan apa yang ada saat ini. Menghargai saat-saat ini yang mempunyai keindahannya. Waktu yang indah itu bisa berarti saat ini. Jadi nikmatilah dan hargailah dengan baik. Keindahan hari ini akan berakhir dan akan datang waktu dengan keindahannya yang lain. Berpengharapan akan datangnya keindahan di waktu mendatang memang benar dan positif, tapi bukan berarti bahwa kini dan saat ini tidak ada sesuatu yang indah yang harus dimanfaatkan dengan maksimal dan dihargai dengan pemanfaatan yang baik.
Indah pada waktunya, bisa berarti waktunya adalah saat ini. Jangan sia-siakan hari ini.
(kelanjutannya.....)
16 Oktober 2009
06 Oktober 2009
Ayo Jangan Nakal
Beberapa waktu lalu saya agak terguncang oleh berita yang saya baca di Kompas, 29 April 2009:
"......Rakyat Paraguay dibuat terpaku menyaksikan opera sabun kehidupan nyata di istana kepresidenan: tiga perempuan menyatakan Fernando Lugo, mantan uskup yang kini presiden, sebagai ayah dari anak-anak mereka dan mereka menuntut pengakuan.Lugo yang tadinya dikenal sebagai "uskup kaum miskin" itu kini dipandang sebagai seorang playboy. Dua pekan lalu, dia membuat rakyat Paraguay terperangah dengan pengakuannya bahwa dia adalah ayah seorang anak ketika dirinya masih menjadi uskup Katolik. Pengakuan Lugo terjadi setelah ibu anak itu menggugatnya.Setelah itu, dua perempuan lain juga mengklaim serupa, sementara Lugo meminta bangsanya untuk memaafkan dirinya................."
Fernando Lugo, orang yang saya kagumi, pernah dijadikan ilustrasi kotbah oleh Bu Claudia. Pernah sampai ditulis Features-nya di Kompas saat Budiman Sujatmiko (mantan PRD) mengunjunginya. Seorang presiden yang bersahaja karena status uskup yang pernah dijalaninya.
Saya teringat, beberapa saat lalu, dalam penerbangan yang berjam-jam, saya bertemu seorang teman secara kebetulan di dalam pesawat. Penerbangan itu terasa sekejab karena dia menghampiri saya dan berdiri di gang di sisi kursi dan kita mengobrol lama sekali. Topiknya: "The dark side of Men". "Nasehat" dia, "Pokoknya.... kalau ketahuan selingkuh..... harus bilang TIDAK, apapun kondisinya." Pokoknya harus ngeyel. "Lha kalau sudah kepepet?" "Harus tetap bilang TIDAK!" itu nasehatnya dan rasanya juga telah dipraktekkannya. Lugo yang Pastur itu mungkin sulit untuk mengikuti nasihat teman itu. Satu kebohongan memang akan melahirkan kebohongan-kebohongan lainnya. Untuk menyangkal apa yang dituduhkan memang butuh ketegaran hati melampaui segala akal dan bukti yang ada. Tidak setiap orang bisa melakukannya. Ini sesuai dengan nasehat: kalau mau mencebur jangan tanggung-tanggung. Kalau mau nakal ya jangan setengah-setengah. Saya sadar bahwa untuk menjadi nakal itu perlu bakat.
Apa benar bakat nakal itu dominan? Bisa jadi memang tersedia bakat untuk nakal, tapi bila kondisinya tidak mendukung mungkin bakat itu tidak akan tumbuh dan berbuah. Saat kondisi di dompet sudah ada kartu kredit dan kartu ATM yang rasa-rasanya cukup berkelimpahan, kenakalan itu mendapat angin untuk bertumbuh dan berbuah. Banyak hal yang dulu jauh dari pemikiran kini menjadi sesuatu alternatif "hobi'. Perbaikan kondisi keuangan memang membuat hidup bisa lebih baik. Bisa merasakan hidup menjadi lebih hidup. Saat banyak hal terbuka untuk dicoba dan dirasakan. Terlebih lagi bila banyak keterbatasan masa lalu menyisakan banyak keinginan terpendam. Dulu saya pingin punya kolam ikan hias, tapi waktu itu saya tidak punya uang untuk membuatnya. Sekarang kalau saya sudah punya sedikit tabungan, saya ingin sekali membuat kolam ikan itu. Itu kalau ikan hias, lha kalau yang lain? Bakat dan dana itu paduan yang serasi.
Saat hidup menjadi lebih tenang karena dukungan finansial yang semakin baik, banyak pilihan yang bisa dibuat. Pilihan itu bisa datang dan diambil karena alasan menikmati apa yang sudah didapatkan. Keinginan melakukan itu sebagai bagian menikmati apa yang sudah dijerih-lelahkan selama ini. Kalaupun itu hal yang menyerempet "bahaya", bisa jadi itu cuma dengan alasan "anggap saja kalah judi". Nilai uang untuk nakal "sedikit-sedikit" itu sudah bukan nilai yang sangat besar dibandingkan kemampuan potensial yang sudah ada di kartu kredit dan kartu ATM yang dibawa. Apalagi kalau dibandingkan dengan "kenyamanan" dan fasilitas yang "ditawarkan". "Kalau sore aku mampir ke rumahnya, kaos kakiku aja dibukakan." Oh, alangkah indahnya bila dibandingkan dengan umpamanya nada tinggi yang sehari-hari terdengar. Sudah buka sepatunya sendiri masih dimarah-marahi kalau salah meletakkan. Hahahahahaha......
Saat sedikit demi sedikit menabung. Saat saldo bertambah dengan dengan diringi rasa syukur. Saat itu setiap pertambahan diakui sebagai suatu rejeki dari yang Maha Kuasa, akhirnya sampailah pada suatu jumlah yang sudah cukup banyak saat ini. Cukup banyak untuk dikagumi dan juga cukup banyak kalau cuma dibuat main sedikit-sedikit. Sedikit itu dari nilai uangnya, tapi tidak sedkit dari sisi kualitas uangnya.
Bila hari ini saya mengingat apa yang sudah terjadi dengan Lugo, ternyata nilai yang dikorbankan itu tidak sekedar nilai yang bisa dianggap kalah judi saja. Tetap ada harga lain yang harus dibayar. Harga sebuah penyangkalan bahwa tiap berkat yang ada datangnya dari yang Maha Kasih dan Maha Kuasa. Maha Kasih karena telah dengan dengan setia memberkati setiap usaha sedikit demi sedikit dan akhirnya menjadi bukit. Maha Kuasa karena telah berkuasa menjaga dari banyak kebocoran yang mungkin bisa saja terjadi saat pengumpulan berkat itu. Berkuasa menjaga kesehatan sehingga tidak bocor sedikit demi sedikit melalui penyakit. Ada juga sisi penyangkalan nilai bahwa: Ia Maha Kasih dan Maha Kuasa. Maha Kasih karena Ia dengan kasih sanggup memukul di saat ada kenakalan. Maha Kuasa karena Ia berkuasa untuk marah dan murka tanpa ada yang mampu menghalanginya kalau ada kenakalan. Mengancam ya?
Ayo jangan nakal.
(kelanjutannya.....)
Langganan:
Postingan (Atom)