28 November 2008

Cerita tentang Emak

Hari ini pas 11 tahun meninggalnya nenek saya. Saya memanggilnya Emak. Seorang wanita berkebaya yang banyak mendidik saya tentang kehidupan ini. Saya tinggal bersamanya sejak kelas 5 SD sampai lulus SMA, 8 tahun lamanya.
 
Emak sudah menjanda sejak usia sekitar 35 tahun. dengan 3 orang anak, yang terkecil, papa saya, berusia 10 tahun. Rumah asalnya saat ini jadi gudang tembakau perusahaan rokok besar ditengah-tengah jarak antara Bondowoso Jember. Rumah itu ditinggalkannya begitu saja mengungsi ke kota Bondowoso, tanpa mau mengurusi kepemilikannya lagi. Disana ia telah kehilangan semuanya, harta benda dirampok, rumah di bakar, suami ditembak mati. Terlalu pahit untuk didatanginya lagi. Untunglah, Emak mendapat bantuan 4 ekor sapi perah dan rumah untuk ditinggali. Dengan memelihara sapi perah dan menjual Susu Sapi, ia membesarkan anak-anaknya, keponakan-keponakannya juga cucu-cucunya.
 
Saya mendapat kenang-kenangan sebentuk cincin berlian dan giwang bermata permata. Mungkin harganya mahal, tapi saya tidak terlalu mengingatnya, karena memang Emak jarang memakai dan membanggakannya. Saya lebih mengingat banyak peribahasa dan ungkapan-ungkapan yang ia sampaikan. Ada yang berbahasa mandarin, Hokkian, madura dan bahasa Indonesia. Yang paling saya ingat dengan tepat pasti yang madura dan Indonesia, karena saya mampu berbahasa itu.
Banyak pelajaran berharga tentang nilai-nilai kehidupan yang saya dapatkan dari Emak.
 
Emak pernah cukup aktif di GKI Bondowoso, pernah jadi majelis di jamannya Pak Wiede Benaja, pendeta yang sangat dihormatinya. Ia pun selalu hormat pada "Boksu", begitu biasanya ia memanggil Pak Pendeta. Siapapun beliau itu. Pernah ada pendeta muda yang bermasalah dengan jemaat di Bondowoso, tapi Emak tetap menghormatinya, selalu dikiriminya susu dan buah mangga atau rambutan, tidak terpengaruh oleh gonjang-ganjing yang ada.Tentang kerohanian, Emak pernah menjelaskan tentang satu karakter (huruf) dalam aksara Cina, "Lai" yang berarti datang. Karakter ini terdiri dari 3 bagian, ditengahnya ada goresan mirip salib dan di kiri kanannya agak kebawah ada dua goresan lagi. Kalau berdiri sendiri, dua goresan itu masing-masing akan berbunyi "ren" yang berarti orang. Emak bilang, "inilah sebabnya bahwa tiap orang harus datang di bawah salib".
 
Sehari-hari dalam bermain bersama saudara, saya kadang bertengkar. Emak menasehati untuk tetap rukun. Mumpung masih kecil. Menurut Emak, justru pada saat kita masih kecil, maka kita bisa merasakan arti persaudaraan yang sebenar-benarnya. Nanti kalau kita sudah besar, kita akan punya ipar, suami atau istri saudara-saudara kita. Saat itu semuanya mungkin akan berubah. Tentang ipar-ipar itu Emak "bernubuat", "Sa te pote na kapor, gi' be'eng". Seputih-putihnya kapur (saat itu belum ada cat tembok), masih kusam (mangkak)". Benarkah nubuatan itu? Hanya kita yang bisa merasakan sejujurnya.
 
Sehari-hari saya membantu Emak berjualan susu sapi. Saya mendapat kepercayaan yang besar untuk bisa membantunya. Dia tidak pernah menyuruh kami bersaudara untuk membantunya, karena untuk membantunya kita harus bangun pagi sekali. Dia tidak pernah membangunkan saya. Saya berusaha bangun jam 3.30 kalau mau membantunya. Emak percaya juga, waktu saya minta menguruskan pajak perusahaan itu. Dari pada uangnya untuk membayar orang kantor pajak. Saya pelajari buku pedoman pajak, saya isikan SPT-nya. Waktu itu saya kelas 1 SMP. Saya antar ke kantor pajak pakai sepeda mini dan bercelana pendek.
Orang Pajaknya tanya,"Siapa yang mengisi?"  
"Saya"
"Kamu tahu, kalau sampai salah isi, dendanya besar, segini... segini..... segini..." Saya ketakutan selama berbulan-bulan, tanpa berani cerita ke Emak. Tahun-tahun berikutnya saya tetap mengisinya lagi. Sampai perusahaan itu ditutup, Emak tidak pernah punya masalah dengan pajak. Waktu saya tanya kenapa harus bayar pajak, Emak bilang, "Karena Engkong pesan, kalau mau berbisnis harus mau bayar pajak"
 
Di perusahaan susu itu, ada beberapa loper (pengantar) susu yang nakal. Uang setorannya sering tidak pas. Selalu berhutang, tambah lama hutangnya tambah besar. Saya mengusulkan untuk memecatnya saja. Emak selalu menolak, alasannya, "Baju robek bisa ditambal, tapi kalau perut lapar, mata bisa gelap". Pedoman ini selalu saya ingat dalam mengelola pekerjaan saya saat ini. Penghargaan akan kebutuhan manusia, walaupun itu karyawan kita.
 
Dalam berteman, Emak pernah bilang untuk menghindari, "Pandhen dhuri, endhe' ngaek ta' endhe' e kaek" Pandan berduri, mau mengait, tidak mau dikait. Di daun pandan itu ada duri yang menghadap ke belakang, seperti kail. Duri itu mampu mengait orang, tapi sulit untuk dikaitkan. Jangan egois.
 
Keteguhan Emak pada prinsip hidup mungkin enak untuk diceritakan, tapi harga sesungguhnya yang harus dibayarnya sungguh besar. Setelah G30S, sekolah Tionghwa di tutup. Tante saya, anak perempuan Emak satu-satunya. Tuako, begitu saya harus memanggilnya. Adalah guru di sekolah Tionghwa, dia tetap berkeinginan menjadi guru. Untuk itulah ia memohon ijin untuk kembali ke Daratan Tiongkok. Emak melarangnya. Emak sangat mencintainya dan tidak ingin berpisah darinya. Sampai suatu saat, Emak tidak dapat menolak untuk mengingkari prinsip hidupnya sendiri. Saat Tuako bilang, "Kalau Mama percaya ini bumi Tuhan dan disana juga bumi Tuhan, kenapa Ngo (saya) tidak boleh pergi?" Perkataan itu dibenarkannya, dan dilepasnya Tuako untuk pergi. Diberinya kenang-kenangan yang sangat dibanggakannya. Sebuah bros bintang emas, yang diperolehnya saat juara lomba pidato dalam rangka ulang tahun Ratu Wihelmina di kelas 5 SD. Mungkin itu kelas terakhirnya, karena Emak tidak punya ijasah, papanya melarang untuk terus bersekolah, karena ia perempuan. Bros itu dibanggakannya karena disematkan oleh Kapten Cina, pemimpin komunitas Tionghwa di Bondowoso waktu itu. Perpisahan itu, adalah pertemuan terakhir antar mereka, Mama dan anak perempuan yang dicintainya. Mereka tidak pernah saling berjumpa lagi sampai maut memisahkan mereka.
 
Saat hidup harus berprinsip, saya bersyukur saya mendapat teladan yang baik dari Emak. Teladan untuk mencari, menemukan dan mentaati prinsip hidup ini, seberapapun mahal harganya. Seperti doa yang sering saya panjatkan, saat inipun saya berdoa, "Tuhan, sampaikan salam saya untuk Emak".
(kelanjutannya.....)